KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan hidayah-Nya., sehingga penyusunan
makalah yang berjudul “Integritas
Kependidikan dan Sikap Professional dalam Profesi Kependidikan”
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Kiranya dalam penulisan ini, kami masih menghadapi cukup banyak kendala
dan selesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu
tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu. Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih baik
lagi. Kami berharap semoga makalah dapat
menambah wawasan pengetahuan tentang pendidikan yang dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Semarang,
8 April 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan
sosio-kultural yang terkadang sulit diprediksi, profesi pendidikan seakan-akan
dihadapkan pada dilema yang kompleks. Di satu pihak, masyarakat pengguna jasa
kependidikan menuntut akan kualitas layanan jasa kependidikan secara lebih
baik, tetapi di pihak lain para penyandang profesi kependidikan dihadapkan pada
berbagai keterbatasan. Bahkan secara individual mereka dihadapkan pula pada
suatu realitas bahwa kesejahteraannya perlu mendapat perhatian khusus. Imbalan
jasa kependidikan yang kurang sesuai menurut ukuran kebutuhan hidup realistis
masih menjadi topik diskusi keseharian masyarakat. Padahal masyarakat yakin
betul bahwa kelangsungan hidup bangsa ini akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan proses sistem pendidikan.
Banyak
orang yang menganggap bahwa menjadi seorang guru itu mudah. Presepsi itu
sungguh tidak benar adanya, karena seseorang guru mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam mendidik dan mengajar. Tanggung jawab itulah yang menjadi
professionalitas seorang guru di mata masyarakat. Seorang guru tidak sebatas
mengajar di kelas tetapi juga harus menjadi tauladan bagi muridnya.
Ketauladanan tersebut akan menjadi tolak ukur keberhasilan si guru. Dalam
mentrasfer ilmu, seorang guru haruslah memerhatikan murid-murid secara bijak
dan cermat, karena antara murid yang satu dan lainnya berbeda karakter. Ada murid
yang cepat dalam menangkap pelajaran, ada juga murid yang lamban dalam memahami
pelajaran. Selain itu guru juga harus menjunjung tinggi etika dan norma dalam
mendidik.
Itulah
sekelumit permasalahan yang sesungguhnya akan terasa amat sulit jika dihadapi secara
individual. Artinya, kalangan profesional kependidikan dipandang perlu untuk
membentuk suatu organisasi profesi dan masuk di dalamnya sebagai anggota.
Melalui fungsi pemersatu organisasi ini, penyandang profesi kependidikan
memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam menjalankan tugas keprofesiannya. Bukan
hanya itu, suatu organisasi kependidikan berupaya meningkatkan dan
mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan
kesejahteraan tenaga kependidikan.
Banyak
hal yang bermanfaat bagi penyandang profesi kependidikan dari organisasi
profesinya sendiri. Sebab itu, disi dipandang penting untuk dibahas. Berikut
ini dikemukakan hakikat pengertian, tujuan, jenis-jenis, pengembangan dan peran
organisasi profesi kependidikan.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
a.
Apa sajakah jenis – jenis
organisasi profesi kependidikan di Indonesia?
b. Bagaimanakah
pengembangan organisasi
profesi & pengembangan sikap profesional kependidikan
di Indonesia?
c.
Apakah peran organisasi
kependidikan di Indonesia?
d.
Bagaimanakah pengertian
tentang sikap profesional kependidikan?
1.3.
Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, dapat
diketahui tujuan penulisan makalah ini yaitu:
a. Untuk
mengetahui jenis–jenis organisasi profesi kependidikan di Indonesia.
b. Untuk
mengetahui pengembangan organisasi profesi & pengembangan sikap profesional kependidikan
di Indonesia.
c. Untuk
mengetahui peran organisasi kependidikan di Indonesia.
d. Untuk
mengetahui pengertian sikap profesional kependidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Jenis-jenis
Organisasi Profesi Kependidikan di
Indonesia
Berikut
ini jenis-jenis organisasi profesi kependidikan yang ada di Indonesia:
a.
Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI)
PGRI
lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia
Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI) tahun 1932.
Tujuan
utama pendirian PGRI adalah:
1. Membela
dan mempertahankan Republik Indonesia (organisasi perjuangan)
2. Memajukan
pendidikan seluruh rakyat berdasar kerakyatan (organisasi profesi) Pendirian
PGRI sama dengan EI: “education as public service, not commodity”.
3. Membela
dan memperjuangkan nasib guru khususnya dan nasib buruh pada umumnya
(organisasi ketenagakerjaan).
b.
Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP)
MGMP
merupakan suatu wadah asosiasi atau perkumpulan bagi guru mata pelajaran yang
berada di suatu sanggar/kabupaten/kota yang berfungsi sebagai sarana untuk
saling berkomunikasi, belajar dan bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka
meningkatkan kinerja guru sebagai praktisi/perilaku perubahan reorientasi
pembelajaran di kelas.
Menurut
Mangkoesapoetra, MGMP merupakan forum atau wadah profesional guru mata
pelajaran yang berada pada suatu wilayah kebupaten/kota/kecamatan/sanggar/gugus
sekolah.
Tujuan
diselenggarakannya MGMP menurut pedoman MGMP
adalah:
1. Tujuan
umum.
Tujuan MGMP adalah untuk
mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan profesionalisme guru.
2. Tujuan
khusus.
3. Memperluas
wawasan dan pengetahuan guru mata pelajaran dalam upaya mewujudkan pembelajaran
yang efektif dan efisien.
4. Mengembangkan
kultur kelas yang kondusif sebagai tempat proses pembelajaran yang
menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskan siswa.
5. Membangun
kerjasama dengan masyarakat sebagai mitra guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran. .
c.
Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) lahir pada pertengahan tahun 1960-an. Pada
awalnya organisasi profesi kependidikan ini bersifat regional karena berbagai
hal menyangkut komunikasi antaranggotanya. Keadaan seperti ini berlangsung
cukup lama sampai kongresnya yang pertama di Jakarta 17-19 Mei 1984.
Kongres
tersebut menghasilkan tujuh rumusan tujuan ISPI, yaitu: (a) Menghimpun para
sarjana pendidikan dari berbagai spesialisasi di seluruh Indonesia; (b)
meningkatkan sikap dan kemampuan profesional para angotanya; (c) membina serta
mengembangkan ilmu, seni dan teknologi pendidikan dalam rangka membantu
pemerintah mensukseskan pembangunan bangsa dan negara; (d) mengembangkan dan
menyebarkan gagasan-gagasan baru dan dalam bidang ilmu, seni, dan teknologi
pndidikan; (e) meindungi dan memperjuangkan kepentingan profesional para
anggota; (f) meningkatkan komunikasi antaranggota dari berbagai spesialisasi
pendidikan; dan (g) menyelenggarakan komunikasi antarorganisasi yang relevan.
Pada
perjalanannya ISPI tergabung dalam Forum Organisasi Profesi Ilmiah (FOPI) yang
terlealisasikan dalam bentuk himpunan-himpunan. Yang telah ada himpunannya
adalah Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Sosial Indonesia (HISPIPSI), Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu Alam, dan lain sebagainya.
d.
Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) didirikan di Malang pada tanggal 17 Desember
1975. Organisasi profesi kependidikan yang bersifat keilmuan dan profesioal ini
berhasrat memberikan sumbangan dan ikut serta secara lebih nyata dan positif
dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai guru pembimbing. Organisasi
ini merupakan himpunan para petugas bimbingan se Indonesia dan bertujuan
mengembangkan serta memajukan bimbingan sebagai ilmu dan profesi dalam rangka
peningkatan mutu layanannya.
Secara
rinci tujuan didirikannya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) adalah
sebagai berikut ini.
1. Menghimpun
para petugas di bidang bimbingan dalam wadah organisasi.
2. Mengidentifikasi
dan mengiventarisasi tenaga ahli, keahlian dan keterampilan, teknik, alat dan
fasilitas yang telah dikembangkan di Indonesia di bidang bimbingan, dengan
demikian dimungkinkan pemanfaatan tenaga ahli dan keahlian tersebut dengan
sebaik-baiknya.
3. Meningatkan
mutu profesi bimbingan, dalam hal ini meliputi peningkatan profesi dan tenaga
ahli, tenaga pelaksana, ilmu bimbingan sebagai disiplin, maupun program layanan
bimbingan (Anggaran Rumah Tangga IPBI, 1975).
2.2
Pengembangan
Organisasi Profesi & Pengembangan Sikap Profesional Kependidikan di Indonesia
a. Pengembangan
Organisai Profesi
Kalau
kita ikuti perkembangan profesi keguruan di Indonesia, jelas pada mulanya
guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus
untuk memangku jabatan guru. Dalam bukunya Sejarah Pendidikan Indonesia,
Nasution (1987) secara jelas melukiskan sejarah pendidikan di Indonesia
terutama dalam zaman colonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi keguruan.
Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang yang tidak dididik
menjadi guru, secara berangsur-angsur dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru
yang lulus dari sekolah guru (kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo
tahun 1852. Karena kebutuhan guru yang mendesak maka pemerintah Hindia Belanda
mengangkat lima macam guru, yakni:
1) Guru
lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh.
2) Guru
yang bukan lulusan sekolah guru, tetapi lulus ujian yang diadakan untuk menjadi
guru.
3) Guru
bantu yakni yang lulus ujian guru bantu.
4) Guru
yang dimagangkan kepada seorang guru senior, yang merupakan calon guru.
5) Guru
yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak yang berasal dari warga yang
pernah mengecap pendidikan.
Tentu saja yang terakhir ini sangat
beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya. Walaupun sekolah guru telah
dimulai dan kemudian juga didirikan sekolah normal, namun pada mulanya bila
dilihat dari kurikulumnya dapat kita katakanhanya mementingkan pengetahuan yang
akan diajarkan saja. Kedalamnya belum dimasukan secar khusus kurikulum ilmu
mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendirian sekolah-sekolah yang lebih
tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands Inslandse School (HIS),
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS), dan
Algemene Middlebare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula
lembaga pendidikan guru atau kursus-kursus untuk mempersiapkan guru-gurunya
seperti Hogere Kweekschool (HKS)untuk guru HIS dan kursus Hoofdacte (HA) untuk
calon kepala sekolah (Nasution,1987).
Keadaan yang demikian berlanjut sampai
zaman pendudukan jepang dan awal perang kemerdekaan, walaupun dengan nama dan
bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan dengan keadaan waktu itu.
Selangkah demi selangkah pendidikan guru meningkatkan jenjang kualifikasi dan
mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru yang
tunggal, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Walaupun jabatan guru tidak harus
disebut sebagai jabatan profesional penuh, statusnya mulai membaik. Di
Imdonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mewadahi
persatuan guru, dan juga mempunyai perwakilan di DPR / MPR. Apakah para wakil
dan organisasi ini telah mewakili semua keinginan para guru, baik dari segi
profesional ataupun kesejahteraan? Apakah guru betul-betul jabatan profesional,
sehingga jabatan guru terlindungi, mempunyai otoritas tinggi dalam bidangnya,
dihargai dan mempunyai status yang tinggi dalam masyarakat, semuanya akan
tergantung kepada guru itu sendiri dan unjuk kerjanya, serta masyarakat dan
pemerintah yang memakai atau mendapatkan layanan guru itu.
Dalam sejarah pendidikan guru di
Indonesia, guru pernah mempunyai status yang sangat tinggi dalam masyarakat,
mempunayi wibawa yang sangat tinggi, dan dianggapsebagai orang yang serba tahu.
Peranan guru saat itu tidak hanya mendidik anak di depan kelas, tapi mendidik
masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk bertanya, baik untuk memecahkan
masalah pribadi ataupun masalah sosial. Namun, kewibawaan guru mulai memudar
sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi, dan kepedulian
guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa. Dalam era teknologi yang
maju sekarang, guru bukan lagi satu-satunya tempat bertanya bagi masyarakat.
Pendidikan masyarakat mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru
berkurang antara lain karena status guru dianggap kalah gengsi dari jabatan
lainnya yang mempunyai pendapatan yang lebih baik.
b. Pengembangan
Sikap Profesional Kependidikan
Seperti
yang telah dijelaskan, bahwa dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu
profesional, maupun mutu layanan, guru harus pula meningkatkan sikap
profesionalnya. Ini jelas berarti bahwa ketujuh sasaran penyikapan yang telah
dibicarakan harus selalu dipupuk dan dikembangkan. Pengembangan sikap
profesional ini dapat dilakukan baik selagi dalam pendidikan prajabatan maupun
setelah bertugas (dalam jabatan).
1) Pengembangan
Sikap Selama Pendidikan Prajabatan
Dalam
pendidikan prajabatan seorang guru harus dididik dalam segala hal (ilmu,
pengetahuan, sikap dan keterampilan) karena tugasya bersifat unik, guru selalu
menjadi panutan sekelilingnya. Oleh sebab itu, bagaimana guru 10 bersikap
terhadap pekerjaan dan jabatannya selalu menjadi perhatian siswa dan
masyarakat. Pembentukan sifat yang baik tidak mungkin muncul begitu saja,
tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya di lembaga
pendidikan perguruan tinggi. Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan
aplikasi penerapan ilmu, keterampilan dan bahkan sikap profesional di rancang
dan dilaksanakan selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan. Sering
juga pembentukan sikap tertentu terjadi sebagai hasil sampingan (by-product)
dari pengetahuan yang di peroleh calon guru. Sikap teliti dan disiplin,
misalnya dapat terbentuk sebagai hasil sampingan dari hasil belajar matematika
yang benar, karena belajar matematika selalu menuntut ketelitian dan kedisiplinan
penggunaan aturan dan prosedur yang telah di tentukan. Sementara itu tentu saja
pembentukan sikap dpat di berikan dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, dan
penghayatan khusus yang di rencanakan, sebagaimana halnya mempelajari Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yang diberikan kepada seluruh siswa
sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
2) Pengembangan
Sikap Selama dalam Jabatan
Pengembangan
sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan
prajabatan. Akan tetapi peningkatan harus terus dilakukan dengan cara formal
seperti mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan
guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat
pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang
dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar
standar pengembangan profesi guru yaitu: (1) Standar pengembangan
profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan
pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan
metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses
observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji
penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar pengembangan
profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan
pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga
menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif
tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru
yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang
penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap
pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa
yang bisa membantu siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi C adalah
pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan
kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa
dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang
masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus
untuk belajar; (4) Standar pengembangan
profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren
(berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan
kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak
berkelanjutan. Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional
guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya
Manusia Indonesia semakin baik.
2.3
Peran Organisasi
Profesi Kependidikan di
Indonesia
Jabatan professional harus memiliki wadah
untuk menyatakan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi yaitu
organisasi profesi guru di negara kita wadah ini telah ada dan dikenal dengan
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Organisasai ini didirikan sebagai
wujud aspirasi guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa.
Salah satu tujuan organisasi ini adalah mempertinggi kesadaran sikap, mutu dan
kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan guru. Organisasi profesi
kependidikan selain sebagai ciri suatu profesi kependidikan, sekaligus juga
memiliki fungsi tersendiri yang bermanfaat bagi anggotanya. Organisasi profesi
kependidikan Organisasi profesi kependidikan selain sebagai ciri suatu profesi
kependidikan berfungsi sebagai pemersatu seluruh anggota profesi dalam
kiprahnya menjalankan tugas keprofesiannya, dan memiliki fungsi peningkatan
kemampuan profesional profesi ini. Kedua fungsi tersebut dapat diuraikan
seperti berikut ini :
1. Fungsi
Pemersatu
Kelahiran
suatu organisasi profesi tidak terlepas dari motif yang mendasarinya, yaitu
dorongan yang menggerakkan para profesional untuk membeantuk suatu organisasi
keprofesian. Motif tersebut begitu bervariasi, ada yang bersifat sosial,
politik, ekonomi, kultural, dan falsafah tentang sistem nilai. Namun, umumnya
dilatar belakangi oleh dua motif, yaitu motif intrinsik dan ekstrinsik.[ Abin
Syamsudin, 1999. hlm. 95 ] Secara intrinsik, para profesional terdorong oleh
keinginannya medapatkan kehidupan yang layak, sesuai dengan tugas profesi yang
diembannya, bahkan mungkin mereka terdorong oleh semangat menunaikan tugasnya
sebaik dan seikhlas mengkin. Secara ekstrinsik mereka terdorong oleh tmntutan
masyarakat pengguna jasa suatu profesi yang semakin hari semakin klompleks.
Kedua
motif tersebut sekaligus merupakan tantangan bagi pengemban suatu profesi, yang
secara teoritis sangat sulit dihadapi dan diselesaikan secara individual.
Kesadaran atas realitas ini menyebabkan para profesional membentuk organisasi
profesi. Demikian pula organisasi profesi kependidikan , merupakan organisasi
profesi sebagai wadah pemersatu pelbagai potensi profesi kependidikan dalam
menghadapi kopleksitas tantangan dan harapan masyarakat pengguna pengguna jasa
kependidikan. Dengan mempersatukan potensi tersebut diharapkan organisasi
profesi kependidikan memiliki kewibawaan dan kekuatan dalam menentukan
kebijakan dan melakukan tindakan bersama, yaitu upaya untuk melindungi dan
memperjuangkan kepentingan para pengemban profesi kependidikan itu sendiri dan
kepentingan masyarakat pengguna jasa profesi ini.
2. Fungsi
Peningkatan Kemampuan Profesional
Fungsi
kedua dari organisasi profesi adalah meningkatkan kemampuan profesional para
pengemban profesi kependidikan. Fungsi ini secara jelas tertuang dalam PP No.
38 tahun 1992, pasal 61 yang berbunyi : Tenaga kependidikan dapat membentuk
ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan mengembangkan karier,
kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga
kependidikan. PP tersebut menunjukkan adanya legalitas formal yang secara
tersirat mewajibkan para anggota profesi kependidikan untuk selalu meningkatkan
kemampuan profesionalnya melalui organisaasi atau ikatan profesi kependidikan.
Bahkan dalam UUSPN Tahun 1989, Pasal 31; ayat 4 dinyatakan bahwa : Tenaga
kependidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya
sesuai dengan perkembangan tuntutan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta
pembangunan bangsa.
Kemampuan
yang dimaksud dalam konteks ini adalah apa yang disebut dengan istilah
kompetensi , yang oleh Abin Syamsuddin dijelaskan bahwa kopetensi merupakan
kecakapan atau kemampuan mengerjakan pekerjaan kependidikan. Guru yang memiliki
kemampuan atau kecakapan untuk mengerjakan pekerjaan kependidikan disebut
dengan guru yang kompeten.
Peningkatan
kemampuan profesional tenaga kependidikan berdasarkan Kurikulum 1994 dapat
dilakukan melalui dua program, yaitu program terstruktur dan tidak terstruktur.
Program terstruktur adalah program yang dibuat dan dilaksanakan sedemikian
rupa, mempunyai bahan dan produk kegiatan belajar yang dapat diakreditasikan
secara akademik dalam jumlah SKS tertentu. Dengan demikian , Pada akhir program
para peserta akan memperoleh sejumlah SKS yang pada gilirannya dapat disertakan
dengan kualifikasi tetrtentu tenaga kependidikan. Program tidak terstruktur
adalah program pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan yang dibuka
berdasarkan kebutuhan tertentu sesuai dengan tuntutan waktu dan lingkungan yang
ada. Terlingkup dalam program tidak terstruktur ini adalah:
a. Penataran
tingkat nasional dan wilayah;
b. Supervisi
yang dilaksanakan oleh pengawas atau pejabat yang terkait seperti Kepala
Sekolah, Kepala Bidang, Kakandep;
c. Pembinaan
dan pengembangan sejawat, yaitu dengan sesama tenaga kependidikan sejenis
melalui forum konunikasi, seperti MGI.
d. Pembinaan
dan pengembangan individual, yaitu upaya atas inisiatif sendiri dengan
partisipasi dalam seminar, loka karya, dan yang lainnya.
2.4
Sikap
Profesional Kependidikan di
Indonesia
Sebelum menguraikan definisi Sikap Profesional
Guru, terlebih dahulu kita mengetahui apa sebenarnya definisi dari ketiga kata
tersebut. Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, “Sikap”
adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan
tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Sedangkan Berkowitz,
dalam Azwar (2000:5) menerangkan Sikap seseorang pada suatu objek adalah
Perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan
untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua
alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan
melaksanakan atau menghindari sesuatu. Profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memiliki standar mutu
atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen). Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh mereka khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan
pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan
lain (Nana Sudjana, 1988 dalam usman, 2005). Menurut para ahli, profesionalisme
menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta
strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan
sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki
keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan. Menurut PP No. 74 Tahun 2008 pasal 1.1 Tentang Guru, guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalar
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya
dijelaskan menurut Arifin (2000), bahwa guru Indonesia yang profesional
dipersyaratkan mempunyai:
a. Dasar
ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan
masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
b. Penguasaan
kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu
pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka.
Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta
riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat
Indonesia;
c. Pengembangan
kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang
berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek
pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya
program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku
atau manajemen pendidikan yang lemah.
Apabila syarat-syarat profesionalisme
guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi
guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991)
bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang
semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam
menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning
environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi
fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator,
transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator
(Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas
ditambah dengan pendapat para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa, Sikap Guru
Profesional adalah Suatu Kepribadian atau respon yang menggambarkan
kecenderungan untuk bereaksi sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran yang ahli dalam
menyampaikannya Kompetensi
di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang
bersifat pribadi, sosial, dan akademis. Dengan kata lain, Guru profesional
adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan
sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan
maksimal.
a. Sasaran Sikap Profesional
Kependidikan
Sikap
dan Pola tingkah laku seorang guru yang berhubungan dengan profesionalisme
haruslah sesuai dengan sasarannya, Sasaran Sikap Profesional Guru diantaranya:
1) Sikap Terhadap Peraturan
Perundang-Undangan
Pada
butir sembilan kode etik guru Indonesia disebutkan bahwa: “guru melaksanakan
segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan”. (PGRI, 1973).
Kebijaksanaan pendidikan dinegara kita dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini
oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Dalam rangka pembangunan dibidang
pendidikan di Indonesia, departemen pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan
ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang merupakan kebijaksanaan yang
akan dilaksanakan oleh aparatnya, yang meliputi antara lain: pembangunan
gedung-gedung pendidikan, pemerataan kesempatan belajar antara lain dengan
melalui kewajiban belajar, peningkatan mutu pendidikan, pembinaan generasi muda
dengan menggiatkan kegiatan karang taruna, dan lain-lain. Guru merupakan unsur
aparatur negara dan abdi negara. Karena itu, guru mutlak perlu mengetahui
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan, sehingga dapat
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijasanaan. Kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan ialah segala peraturan-peraturan pelaksanaan
baik yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di pusat
maupun di daerah, maupun departemen lainnya dalam rangka pembinaan pendidikan
di negara. Contohnya, peraturan tentang (berlakunya) kurikulum sekolah
tertentu, pembebasan uang sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), ketentuan
tentang penerimaan murid baru, penyelenggaraan evaluasi belajar tahap akhir
(UAN) dan lain sebagainya. Untuk menjaga agar guru Indonesia tetap melaksanakan
ketentuanketentuan yang merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan,
Kode Etik Guru Indonesia mengatur hal tersebut, seperti yang tertentu dalam
dasar yang kesembilan dari kode etik guru. Dasar ini juga menunjukkan bahwa
guru Indonesia harus tunduk dan taat kepada pemerintah Indonesia dalam
menjalankan tugas pengabdiannya, sehingga guru Indonesia tidak mendapat
pengaruh yang negatif dari pihak luar, yang ingin memaksakan idenya melalui
dunia pendidikan. Dengan demikian, setiap guru Indonesia wajib tunduk dan taat
kepada segala ketentuan-ketentuan pemerintah. Dalam bidang pendidikan ia harus
taat kepada kebijakan dan peraturan, baik yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan maupun departemen lain yang berwenang mengatur
pendidikan, di pusat dan di daerah dalam rangka melaksanakan
kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia.
2) Sikap Terhadap Organisasi Profesi
Guru
secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai
sarana perjuangan dan pengabdian. Dasar ini menunjukan kepada kita betapa
pentingnya peranan organisasi profesi sebagai wadah dan sarana pengabdian. PGRI
sebagai organisasi profesi memerlukan pembinaan, agar lebih berdayaguna dan
berhasil guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi
guru. Keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung kepada kesadaran para
anggotanya, rasa tanggung jawab dan kewajiban para anggotanya. Organisasi PGRI
merupakan suatu sistem, dimana unsur pembentuknya adalah guruguru. Organisasi
harus membina mengawasi para anggotanya, yang dimaksud dengan organisasi adalah
semua anggota dengan seluruh pengurus dan segala perangkat dan alat-alat
perlengkapannya. Setiap anggota harus memberikan sebagian waktunya untuk
kepentingan pembinaan profesinya, dan semua waktu dan tenaga yang diberikan oeh
para anggota ini dikoordinasikan oleh para pejabat organisasi tersebut,
sehingga pemanfaatannya menjadi efektif dan efisien. Dalam dasar keenam kode
etik itu dengan gamblang juga dituliskan, bahwa guru secara pribadi dan bersama-sama,
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Dasar ini sangat
tegas mewajibkan kepada seluruh anggota profesi guru untuk meningkatkan mutu
dan martabat profesi guru itu sendiri. Untuk meningkatkan mutu suatu profesi,
khususnya profesi keguruan, dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
dengan melakukan penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam
jabatan, studi perbandingan, dan berbagai bidang akademik lainnya. Peningkatan
mutu profesi keguruan dapat telah direncanakan dan dilakukan secara bersamaan
atau berkelompok. Kalau sekarang kita lihat kebanyakan dari usaha peningkatan
mutu profesi diprakarsai dan dilakukan oleh yang dilakukan oleh pemerintah,
maka diwaktu mendatang diharapkan organisasi profesional yang seharusnya
merencanakan dan melaksanakannya, sesuai dengan fungsi dan peran organisasi itu
sendiri.
3) Sikap Terhadap Teman Sejawat
Dalam
ayat 7 kode etik guru disebutkan bahwa “Guru memelihara hubungan seprofesi,
semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial”. Ini berarti bahwa :
a. Guru
hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan
kerjanya.
b. Guru
hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan
sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya.
Dalam hal ini Kode Etik Guru Indonesia
menunjukan betapa pentingnya hubungan yang harmonis perlu diciptakan dengan
mewujudkan perasaan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi.
Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yakni hubungan
formal dan hubungan kekeluargaan.
a) Hubungan
Guru Berdasarkan Lingkungan Kerja
Agar
setiap personel sekolah dapat berfungsi sebagaimana mestinya, mutlak adanya
hubungan yang baik dan harmonis diantara sesama personal yaitu hubungan baik
antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, dan kepala sekolah ataupun
guru dengan semua personal sekolah lainya. Semua personal sekolah ini harus
dapat menciptakan hubungan baik dengan anak didik disekolah tersebut. Sikap
profesional lain yang perlu ditumbuhkan oleh guru adalah sikap ingin bekerja
sama, saling harga menghargai, saling pengertian, dan rasa tanggung jawab. Jika
ini sudah berkembang, akan tumbuh rasa senasib sepenanggungan serta menyadari
akan kepentingan bersama, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dengan
mengorbanakan kepentingan orang lain (Hermawan, 1979).
b) Hubungan
Guru Berdasarkan Lingkungan Keseluruhan
Dalam
hal ini kita harus mengakui dengan jujur bahwa sejauh ini profesi keguruan
masih memerlukan pembinaan yang sungguh-sungguh. Rasa persaudara seperti
tersebut, bagi kita masih perlu di tumbuhkan sehingga kelak akan dapat kita
lihat bahwa hubungan guru dengan teman sejawatnya berlangsung seperti halnya
dengan profesi kedokteran.
4) Sikap Terhadap Anak Didik
Dalam
kode etik guru indonesia dengan jelas dituliskan bahwa : Guru berbakti
membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
pancasila, dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh
seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, yakni : Tujuan pendidikan
nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya. Tujuan pendidikan nasional dengan jelas dapat dibaca dalam UU No.
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa pancasila. Prinsip yang lain adalah membimbing peserta
didik, bukan mengajar, atau mendidik saja. Pengertian seperti yang
dikekmukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat
yang terkenal dari sistem itu adalah “Ing Angarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun
Karso, Dan Tut Wuri Handayani”. Ketiga kalimat itu mempunyai arti bahwa
pendidikan harus dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh dan
harus dapat mengendalikan peserta didik. Dalam tut wuri terkandung maksud
membiarkan peserta didik menuruti bakat dan kodratnya dan guru
memperhatikannya. Dalam handayani berati guru mempengaruhi peserta didik, dalam
arti membimbing atau mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti
bersikap menentukan kearah pembentukan manusia yang seutuhnya yang berjiwa
pancasila, dan bukanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya menurut
kehendak sang pendidik. Motto tut wuri handayani sekarang telah diambil menjadi
motto dari departemen pendidikan dan kebudayaan RI. Prinsip manusia seutuhnya
dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik
jasmani maupun rohani tidak hanya berilu tinggi tetapi juga bermoral tinggi
pula. Oleh Karenanya, Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan
pengetahuan atau perkembangan intelektual saja. Tetapi juga harus memperhatikan
perkembangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani dan sosial
sesuai dengan dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi
manusia yang mampu menghadapi tantangan tantangan dalam kehidupannya sebagi
insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang
harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru.
5) Sikap Terhadap Tempat Kerja
(sekolah)
Sudah
menjadi perkembangan umum bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan
meningkatkan produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap
guru dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam
lingkungannya. Untuk menciptakan suasana kerja yang baik ini ada dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu guru sendiri dan hubungan guru dengan orang tua dan
masyarakat sekeliling Terhadap guru sendiri dengan jelas juga dituliskan dalam
salah satu butir dari kode etik yang berbunyi : “Guru menciptakan suasana
sekolah sebaik-baiknya yang menunjang keberhasilan proses belajar mengajar”.
Oleh sebab itu, guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik itu dengan
berbagai cara, baik dengan penggunaan metode mengajar sesuai, maupun dengan
penyediaan alat belajar yang cukup, serta pengaturan organisasi kelas yang
mantap, ataupun pendekatan lainnya yang diperlukan. Suasana harmonis di sekolah
tidak akan terjadi apabila seluruh pihak yang terlibat tidak menjaga hubungan
baik antara satu sama lain. Hal ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan
rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Seperti yang diketahui,
peserta didik hanya menghabiskan sebagian kecil saja dari waktu mereka untu
berada di sekolah, sebagian besarnya mereka gunakan untuk berinteraksi dengan
keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, peran keluarga dan masyarakat
sangatlah penting bagi pendidikan peserta didik. Agar pendidikan di luar
sekolah ini dapat berjalan dengan baik, diperlukan adanya hubungan dan kerja
sama yang baik juga antara guru, orang tua, dan masyarakat. Pihak sekolah dapat
memupuk hubungan yang baik dengan masyarakat dan orang tua dengan cara
melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan di sekolah.
6) Sikap Terhadap Pemimpin
Sebagai
salah seorang anggota organisasi, baik organisasi guru maupun organisasi yang
lebih besar, guru akan selalu berada dalam bimbingan dan pengawasan pihak
atasan. Dari organisasi guru, ada strata kepemimpinan mulai dari pegurus
cabang, daerah, sampai kepusat. Begitu juga sebagai anggota keluarga besar
DEPDIKBUD (Departement Pendidikan dan Kebudayaan), ada pembagian pengawasan
mulai dari kepala sekolah dan seterusnya sampai kementrian pendidikan dan
kebudayaan.
7) Sikap
Terhadap Pekerjaan
Profesi
guru berhubungan dengan anak didik, yang secara alami mempunyai persamaan dan
perbedaan. Tugas melayani orang yang beragam sangat memerlukan kesabaran dan
ketelatenan yang tinggi, terutama bila berhubungan dengan peserta didik yang
masih kecil. Barang kali tidak semua orang dikarunia sifat seperti itu, namun
bila seseorang telah memilih untuk memasuki profesi guru, ia dituntut untuk
belajar dan berlaku seperti itu. Untuk meningkatkan mutu profesi secara
sendiri-sendiri, guru dapat melakukannya secara formal maupun informal. Secara
formal, artinya guru mengikuti berbagai pendidikan lanjutan atau kursus yang
sesuai dengan bidang tugas, keinginan, waktu, dan kemampuannya, Secara informal
guru dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui media masa
seperti televisi, radio, majalah ilmiah, koran, dan sebagainya. Didalam Kode
Etik Guru Indonesia butir keenam ditujukan kepada guru, baik secara pribadi
maupun secara kelompok, untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
Guru sebagaimana juga dengan profesi lainnya, tidak mungkin dapat meningkatkan
mutu dan martabat profesinya bila guru itu tidak meningkatkan atau menambah
pengetahuan dan keterampilannya, karena ilmu dan pengetahuan yang menunjang
profesi itu selalu berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Organisasi
profesi kependidikan adalah sebuah wadah perkumpulan orang–orang yang memiliki
suatu keahlian dan keterampilan mendidik yang dipersiapkan melalui proses
pendidikan dan latihan yang relatif lama, serta dilakukan dalam lembaga
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada beberapa organisasi
kependidikan, antara lain: PGRI, ISPI, IPBI dan MGMP.
Dari
tahun ke tahun organisasi kependidikan terus mengalami peningkatan jenjang
kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan
guru yang tunggal, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Oranisasi tersebut sangat berperan kelangsungan pendidikan baik dari fungsinya
sebagai pemersatu dan sebagai peningkatan kemampuan profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peraturan
Pemerintah
No. 74 Tentang Guru dan UU Tahun 2008 Pasal 1 Ayat
Hamalik, Oemar. (2008). Pendidikan Guru
Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tentang
Tenaga
Kependidikan
Tahun
1992.
Putra, I. R. D. (2010). Organisasi Profesi Guru Indonesia.
Diakses pada tanggal 7 April 2018 pukul 14.17 WIB melalui http://www.jarkom-iwanriopurba.web.id/2010/11/organisasi-profesi-guru-indonesia.html
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi
Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad 21. Jakarta: Grasindo.
Soetcipto,
dkk. (2004). PROFESI KEGURUAN.
Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Undang Undang Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional